Sabtu, 07 Maret 2009

Ketika Hati Bicara

KETIKA HATI BERBICARA
Oleh : Tita Tjindarbumi

Pernahkah kamu berpikir untuk berpaling dari masa lalu?Berjalan drngan tegap menatap hari esok yang-barangkali-bisa lebih cerah dari hari lalu?
Berkali-kali Nata mencoba untuk menata kembali hari-hari yang pernah dilaluinya.Lebih banyak duka ketimbang suka.Lebih banyak nestapa ketimbang bahagia.Tetapi toh ia masih mampu untuk tegar.
“Kamu adalah petualang yang belum mengenal kata lelah,”kalimat itu begitu singkat.Tetapi mampu menusuk hatinya.
“Kritik seperti terkadang kuperlukan.Setidaknya untuk evaluasi diri.Sungguhkah itu.Atau kamu hanya mengada-ada.Terlalu mendramatisir keadaan.”
Nata terlalu pandai memilih kata-kata.Dengan begitu tak seorang pun betapa hatinya terluka. Terpojok.Nata paling benci dengan julukan ‘Petualang’.Di telinganya istilah itu berkonotasi negatif.
“Hampir semua mata menilaimu cewek pongah.Yang selalu mampu melakukan apa-apa sendiri.Yang dalam perjalan hidupnya tak memerlukan lagi uluran tangan orang lain.”
Valen masih saja nyerocos.Kalimat demi kalimat yang dilontarkannya seolah memang di peruntukkan menyakiti hati gadis itu.
”Mereka baru menilaiku dengan mata. Bukan dengan hati. Padahal baik mata baik hati harus sama-sama berbicara. Itu baru penilaian yang obyektif, Val. Ku harap kamu tidak takut terpengaruh oleh mereka. Kamu teman ku, sahabat ku… kuharap kamu tidak mempunyai penilaian sama tentang diriku. Okey?”
Tak ada nada amarah dalam kalimat Nata yang panjang itu. nadanya terlalu tenang hingga mampu memendam kemarah yang sudah membara di dadanya. Bagaimana tidak? Valen hampir setiap hari bersamanya. Hampir semua aktivitasnya selalu berhubungan dengan cowok itu. baik kulikuler maupun ekstra kulikuler. Nata berharap Valen bisa menyelami siapa dirinya.
”Sorry… aku tak maksud mengkritikmu. Hanya menyampaikan apa yang aku dengar selama ini. Sungguh….”
Ada penyesalan di bola mata Valen yang biru. Anak indo ini tidak pernah mampu berbohong. Nata bisa melihat kejujuran di matanya yang bagus itu.
Sayang. Nata menarik napasnya sedikit agak panjang. Sesungguhnya Valen sangat menarik. Tetapi ia telah memberikan harapan pada cowok lain. Seseorang yang sama sekali tak pernah muncul bersamanya. Seseorang yang selama ini berada di balik layar.
”Kamu tahu, Ta. Mereka yang menilaimu kebanyakan adalah mereka yang tak pernah mendapat perhatian mu. Barang kali mereka merasa tak di perhatikan oleh mu,” ujar Valen lagi, seolah ingin memperbaiki ucapan-ucapannya tadi.
”Mereka boleh-boleh saja begitu. Aku tidak keberatan kok. Lagian itu hak mereka.”
****

Perpisahan memang sulit untuk di elakkan. Ia datang begitu saja. Seperti halnya dengan perjumpaan. Terjadi tanpa ada yang merencanakan.
‘Aku akan belajar di Surabaya, Ta,” ujar Valen suatu siang di tengah hiruk pikuk kota Jakarta.
“Ngapain kamu di sana?Jakarta saja sudah begini panasnya. Apalagi di Surabaya. Ogah des,” Nata berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya. Mengapa begitu mendadak?
“Mau ngapain kamu di sana?”
Valen tertawa ngakak.Ditunjunya punggung Nata. Tidak sungguhan, tentunya.
“Ya kuliah, Non, emangnya aku mau ngapain?Pertanyaanmu kok aneh?”
“Habis aku heran. Di sini saja Perguruan tinggu berjubel, eh malah kabur ke kota lain. Kalau nggak ada penyebabnya nggak munfkin des kamu senekad itu. Please....ceritakanlan padaku.”
Kenati Nata telah berusaha mengorek keterangan dari berbagai pihak, toh tak ada jawaban yang melegakan perasaannya. Semua oihak seolah sengaja tutup mulut . Sengaja membiarkan Nata diliputi berbagai pertanyaan.
Kepergian Valen memang merupakan teka-teki. Tetapi Nata tidak terlalu memusingkan.Baginya itu urusan Valen dan keluarganya. Apalagi nampaknya Valen tetap merahasiakan sebab musababnya.

****
Nata menyusuri pantai. Dibiarkannya air membasahi bagian bawah jeansnya. Sore ini Nata benar-benar ingin menikmati panorama pantai. Menikmati keindahan yang masih begitu asri.
Biasanya ia selalu menyukai panorama pantai. Mendengar debur ombaj mengingatkannya pada tanah kelahirannya. Di pantai pula ia pertama kali mengenal cinta kasih dari seorang cowok yang selama ini dengan rapi bersemayam di hatinya. Cowok yang telah menabur benih kasih di dadanya. Cowok yang belakangan ini selalu mengusik ketengangannya.
“Apa yang kita harapkan dari laut dan pantai ini, Ta.”
Demikian pernah ia ucapkan. Seolah tanpa maksud apa-apa.tetapi Nata tahu, cowok itu mulai bosan dengan lingkungan di sekitarnya.Mulai enggan dengan keasrian tanah leluhurnya.
“Banyak orang yang merindukan suasana seperti ini. Tetapi kamu malah bersikap sebaliknya,” uar Nata mengingatkan cowok terkasihnya. Ada jarak terentang kendati hubungan mereka sudah berjalan cukup lama. Danial—cowok tegap berkulit gelap itu—tetap saja dikenalnya sebagai coek tertutup. Nata selalu berusaha mengerti Danial tidak mudah percaya pada orang lain. Garangnya lautan dan sesekali badai yang menerjangnya, membuat Danial kelihatan begitu sulit diselami.
Pada awalnya Nata merasa kesulitan memulai pembicaraan dengan cowok itu. Apalagi mengingat satus ekonomi mereka begitu jauh berbeda. Danial hanyalah salah seorang outra dari nelayan yang sehari-harinya bekerja di laut. Sedangkan Nata?Ia cucu dari saudagar di kampung nelayan itu. Sebenarnya bukan karena kedudukan sosial yang membuat Nata enggan memulai persahabatan dengan Danial. Hanya karena Danial begitu pencuriga dan terlalu hati-hati dalam bergaul sajalah yang membuat Nata ragu-ragu untuk melangkah.
“Tidak semua orang harus kita curigai, Iyal,”ujar Nata ketika pertama mereka berbincang akrab. Sebenarnya Nata dan Danial sudah lama saling mengena. Ketika kecil Nata mengunjungi sang kakek di kampung nelayan itu. Hanya saja mereka tumbuh di tempay yang berbeda. Itu saja yang membuat mereka tampak berbeda.
“kamu jangan salah menafsirkan sikapku, Ta. Salah kalau aku bersikap lebih hati-hati,” jawabnya dengan pandangan jauh ke depan. Rupanya laut begitu memukaunya.
“Berhati-hati sih boleh-boleh saja. Tetapi nggak berarti kamu harus menutup diri,” Nata mencoba mengoreksi.
“Apa bedanya?Tokh tidak ada yang tertarik padaku. Aku ini apalah?”
Danial begitu rendah diri. Atau hanya biasan kerendahan hatinya?
Walau pun seorang anak nelayan, Danial memiliki wajah yang tampan. Kulitnya yang hitam malah merupakan daya tarik tersendiri bagai Nata. Setidaknya di mata Nata Danial lebi kelihatan jantan dibandingkan dengan cowok-cowok yang berkulit bersih.
“Kamu terlalu merendahkan dirimu, Iyal. Aku tahu banyak gadis-gadis di sini yang bernasib sama. Mereka begitu sulit mendekatimu. Seoalah mereka tak menarik di matam,” ujar Nata setengah bercanda.
“Apa yang mereka harapkan dariku. Aku hanya anak nelayan yang tidak memiliki apa-apa.”
Nata meninju Danial. Ini sengaja ia lakukan. Selama ini Danial selalu merentangkan jarak. Jangankan bersikap manis, memandangnya saja ragu-ragu. Sepertinya ada keinginan tetapi tidak memiliki keberanian. Cara satu-satunya yang harus Nata lakukan adalah bersikap lebih agresif.
“Kamu memiliki wajah yang tampan. Selain itu kamu juga memiliki masa depan. Bukan hanya sebagai pewaris kerajaan lautan ini,”Nata menggoda. MAtanya yang hitam membulat,”Kalau kuliahmu selesai kamu bisa mengelola usaha keluargamu dengan cara yang lebih modern, jadi jangan pesimis. Pandang dan sambutlah hari esok dengan penuh optimis,”Ujar Nata lagi, entah dari mana kalimt-kalimat itu. Bersama Danial ia merasa lebih bebas berpendapat. Sekali pun cowok itu hanya diam dan diam.

*****

Kalau Nata mau jujur, ia lebih suka berada dekat Valen. BUkan karena Valen lebih modern padnangannya. Tetapi karena bersama Valen ia bisa berdebat hebat. Sedangkan bersama Danial?Cowok itu terlalu pendiam. Baginya dial berarti emas. Dan ini nampaknya sudah mendarah daging dalam kehidupannya. Padahal dengan diam sepanjang hari belum tentu akan menyelesaikan persoalan.
Apalagi persoalam yang kini terjadi. Danial memang tidak punya hati. Ia pun tidak bernyali. Terlalu lama menunggu hati cowok itu merusak lukisan cinta kasihnya, adalah perbuatan yang tak termaafkan. Setidaknya untuk detik ini.
“Aku nggak nyangka kamu bisa bersikap begitu,” Darah Nata sudah sampai di ubun-ubun. Selama ini ia selali bersikap mengalah.Mencoba mengerti bahwa Danial memang tidak sama dengan cowok-cowok lain yang pernah dikenalnya. Tidak seperti Valen yang ceria. Yang selalu siap meniolongnya. Dan juga menghiburnya. Tetapi tidak menghancurkan perasaannya seperti sekarang ini.
“Saya Tidak punya pilihan lain, Nata.”Cuma itu yang keluar dari mulutnya.Nata membayangkan Danial akan mengemukakan beribu alasan mengapa ia menerima tawaran sang bapak yang akan merpertunangkan dengan anak dari saudagar kapal dari kampuung nelayan dimana Danial dan orang tuanya tinggal.
“Kamu kan seorang laki-laki yang dapat menolak dengan alasan yang tepat,” ujar Nata lagi setengah berteriak.
“Nggak ada jalan lain, Ta.Hanya itu. Orang tuaku terlibat hutang dengan mereka. Ini jalan satu-satunya yang mereka tawarkan. Aku tak mau dibilang anak durhaka. Lagi pula apa yang bisa aku lakukan selain menerima?”
Duh!Bagai disambar petir Nata mendengarnya.Tidak disangkanya Danial sepicik itu. BAgaimana mungkin, ia mempertaruhkan segalanya hanya karena untuk membayar lunas semua hutang orang tuanya. Di jaman yang modern ini, yang katanya era globalisasi, masih ada orang yang berpikiran kolot begitu. Dan Danial begitu hanyut dalam rangkuman tradisi. Melunasi hutang dengan menukar putranya. Hah, sinting!
Nata sadar selama ini ia hanya hanyut dalam lamunannya. Terbuai dalam mimpi-mimpi kosong. Yang membuahkan kepahitan.
“aku harap kamu bisa mengerti. Mengerti akan keadaanku. SEbenarnya aku ingin berontak. Tetapi setelah kupikir berhari-hari, aku tak menemukan penyelesaian yang tepat selain menerima semua ini.”
“Barangkali memang itu jalan yang harus kamu tempuh.Setidaknya dengan begitu kamu tak perlu memikirkan apa-apa lagi. Kamu memang lebih tahu apa yang terbaik bagi dirimu.”
Akhirnya Nata mau mengerti. Mempertahankan seseorang yang sama sekali tidak pernah mengharapkan diirnya adalah perbuatan dungu.Walau pun ia begitu menyayangi Danial. Begitu berharap hubungannya yang selama ini dianggapnya istimewa dan berakhir manis. Nyatanya.....

******
Galeria Matahari selalu ramai. NAta mencoba lebur di dalamnya. Sebetulnya ia tidak punya rencana berbelanja. Tetapi pikirannya sedang kalut. Ia ingin melupakan peristiwa dengan Danial.Melupakan segalanya. Berharap Danial berubah pikiran adalah pekerjaan sia Seperti pungguk merindukan yang bulan.
Nata tersenyum. Teringat kembali masa-masa bersama cowok berkulit gelap itu. Berjalan-jalan di tepi pantai sambil memandang birunya laut. Menikmati kicau burung camar yang riang berterbangan. Dan sesekali sengatan matahari. Semua itu menciptakan pesona sendiri bagi diri Nata.
Kini semuanya telash berakhir. Seringkali Nata mencoba merenung dan merenung. Dalam doanya ia berharap Danial akan kembali padanya. Setidaknya menyadari betapa ia mencintai cowok itu lebih dari apa yang diperkiakannya. Barangkali selama ini Danial tidak bernai melangkah sejajar di sisinya karena status sosial dan kesenjangan sosial yang ada di antara mereka?
Puih...benar-benar picik.Bagaimana mungkin di jaman yang telah maju ini....
“Hei...kalau ngelamun jangan di jalan dong.”
Tiba-tiba saja seseorang telah berada persis di depannya. Memandangnya dengan tatapan penuh arti.
Nata menggeser tubuhnya. Dari mana datangnya cowok perkasa ini?mengapa tiba-tiba berdiri di depanku? Dan...hm rupanya ia sengaja menabrakku. Walau pun aku berjalan sambil melamun, tetapi mataku masih awas kalau hanya untuk melihat seseorang atau barang-barang yang berada di sekitarku. Ia pasti sengaja menabrakku!
“Hei...kamu tidak mengenaliku?”
Serta merta cowok itu emnarik lengan Nata. Menepi. Seperti dihipnotis, NAta ikut saja.
“Kamu memang sombong,Ta,”cowok itu membuka kaca mata hitamnya.
Mata Nata membelalak. Ya, Tuhan....
“Sorry...kulitmu mengapa menjadi hangus begitu? dan rambutmu itu...hii,” Nata mengedik.
“Kamu kelihatan dekil dan tak terurus!”Komentar Nata spontasn. Siapa yang mengenalimu, Val, keadaanmu begitu jauh berubah. Valen yang kukenal dulu begitu halus dan rapi. Kini.....
“Aku ingin terlihat lain di matamu. Aku sudah lama tahu bahwa cowok berkulit halus, berbibir merah jambu dan terlalu necis bukan tipemu,”ujar Valen lagi dengan berapi-api. Ia tidak peduli apakah Nata akan menghardiknya.Atau bahkan mengusirnya!
“Jiwa petualangmu masih kental,” kata Valen lagi seperti tidak peduli kalau mereka baru saja bertemu setelah sekian lama berpisah.
“ya, tetapi aku kini petualang yang telah kalah, Val,” jawabnya bagai sebuah pengaduan.
“Aku sudah tahu. MAtamu telah banyak berbicara. Anak nelayan itu telah membuatmu jatuh terpuruk?”
“Dari mana kamu tahu?”
Mata gadis itu membulat.Sebersit kecurigaan memasuki rongga dadanya. Rupanya Valen tahu banyak tentang “rahasia”nya. Siapa yang begitu lancang membocorkan rahasianya?
“Aku sudah lama mengetahui hubunganmu dengananak nelayan itu. Pada mulanya kupikir itu hanya salah satu bentuk kegilaanmu belaka.Cuma pelampiasan jiwa petualangmu. Tetapi setelah kuselidiki, ternyata kamu sungguh-sungguh mengagumi anak nelayan itu. Malah aku sempat berpikir bahwa kegilaanmu itu membabi buta.Apalagi setelah kuketahui sendiri bagaimana pribadi anak nelayan itu. Maaf...sejak awal sudah kuduga, anak nelayan yang bernama Danial itu tidak akan berani menyambut perhatianmu. Sekali pun kamu benar-benar menginginkannya. Anak nelayan itu....”
“Stop, Val. Aku tak mau mendengarkan ocehan konyolmu itu. Semua telah berakhir. Biarkan semuanya menjadi bagian dari masa laluku. Itu kalau kamu masih ingin bersahabat denganku,” potong Nata cepat. Kalau dibiarkan Valen akan ngoceh terus, tidak ada hentinya. Ia memang kadang cerewet!
Wajah Valen yang kini berubah kehitam-hitaman itu tersenyum. NAta berusaha menghindar dari tatapan coowk itu. Walau pun hatinya sedang terluka akibat ulah Danial, rasanya tidak adil menjadikan Valen yang manis sebagai pelampiasan kemarahannya.
Tidak akan pernah, Val.Sebab tak ada yang lebih berharga selain belajar dari masa lalu. Percayalah, aku bukan petualang seperti yang kamu pikirkan.Anak nelayan itu memang pernah menjadi bagian dari masa laluku yang terluka. Setidaknya aku masih mampu mendengar suara hatiku, gumam Nata dalam bisu. (‘tuk kenangan yang membelajarkan dan mendewasakanku.)

Selasa, 24 Februari 2009

Sepasang Lelugu Biru

Sepasang Lulugu Biru
By Benny Rhamdani

“Heh! Gue punya kejutan buat elo.”
Rara mendongakkan kepala dari komik Asterix-nya. Dilihatnya Ludi masuk dengan senyum khasnya. Membuat Rara urung melemparkan beker di atas meja karena kekurangajaran cowok itu seenak hati masuk ke kamar. Sudah berulang kali sebenarnya Rara mengingatkan bahwa Ludi bukan lagi anak kecil dan mestinya mengerti yang namanya privacy.
“Simpan dulu komik ini. Nggak bakal lari!” paksa Ludi. Tangannya menarik komik yang dipegang Rara.
Rara menguntit Ludi. Semoga kali ini kejutannya bukan yang aneh-aneh. Tahun lalu Ludi memberi kado ulang tahun yang membuat mukanya merah. Setengah lusin buku pengetahun tentang seks! Mana Rara membukanya di depan puluhan pasang mata lagi.
Ludi terus berjalan ke luar rumah. Ia baru berhenti di depan VW kodok biru tosca, kado ulang tahun ke tujuhbelas Rara dari Papa dan Mama sebulan lalu. Ludi membuka pintu mobil.
“Nah, perhatiin deh di dalam. Ada yang berubah, kan?” tunjuk Ludi sambil tetap tersenyum. Ia yakin kali ini Rara akan terkejut bercampur senang karenanya.
Rara memperhatikan satu persatu ruang dalam mobilnya. Jok kursi, koleksi kaset, dan tumpukan komik sudah ada dari kemarin. Tapi… mata Rara membelalak sewaktu melihat rangkaian bunga imitasi yang menggantung di kaca spion dalam mobil. Dadanya serasa sesak.
“Ludi! Elo buang kemana Lulugu Biru gue? Trus siapa suruh elo masang bunga jelek itu di dalam mobil?” teriakan Rara menyengat kuping Ludi. Untung nggak ada benda yang bisa dilempar ke arah Ludi.
Ludi buru-buru masuk ke mobil mengambil bunga plastik yang ia gantung. Sementara didengarnya Rara terus memakinya habis-habisan.
“Elo emang nggak tau diri banget! Nggak tau malu! Pokoknya jangan temui gue sebelum mengembalikan Lulugu Biru itu!”
“Lulugu Biru?” tanya Ludi. Ia bingung karena omelan Rara bercampur dengan mata yang basah.
“Boneka biru yang elo culik itu, bego!” Rara cepat membalikkan badannya dan menghamburkan diri ke dalam kamar.
Boneka yang berjajar rapi di dekat tempat tidur tak mampu menghibur kesedihan Rara. Buat Rara, lebih baik ia kehilangan semua boneka mahal di kamarnya ketimbang Lulugu Biru. Boneka itu memang tampak tak berharga. Cuma sekecil telunjuk tangan Rara, dibuat dari kain satin berwarna biru. Tapi kenangan manis yang menyertai Lulugu Biru tak akan pernah dilupakan Rara. Tak pernah!
Rara masih ingat saat sembilan tahun lalu ia selalu merengek agar Bunda Ris mendongeng kisah Lulugu Biru setiap malam. Ia juga tak bisa melupakan saat penghuni panti asuhan lainnya memandangnya iri karena Bunda Ris menghadiahinya sepasang boneka Lulugu Biru.
“Sengaja Bunda memberikan sepasang boneka ini hanya padamu. Karena cuma kamu yang suka kisah Lulugu Biru,” kata Bunda Ris saat memberikan sepasang Lulugu Biru. “Jaga baik-baik keduanya.”
Rara pun masih ingat saat ia menangis seharian --dua hari sebelum kepindahan Rara ke rumah Mama dan Papa yang mengangkatnya-- karena satu dari sepasang bonekanya hilang. Itu sebabnya ia bertekad menjaga sisa satu boneka yang ia miliki.
“Rara, kamu nangis?” suara Mama yang menyembul di pintu kamar mengejutkan Rara.
Rara menyeka matanya. Ia pernah janji dalam hati nggak akan pernah nangis di depan Mama lantaran akan membuatnya sedih.
“Mama dengar kamu marah-marah tadi,” ujar Mama seraya mendekati Rara. Dibelainya lembut tangan Rara.
“Ludi cari gara-gara lagi, Ma. Lulugu Biru yang Rara gantung di mobil diilangin dia,” tutur Rara. Ia menyesal memindahkan boneka itu dari kamarnya.
Mulanya lantaran beberapa hari ini ia sering bepergian dengan mobilnya, maka Rara merasa perlu memindahkan Lulugu Biru, agar senantiasa berada di dekatnya.
“Tapi nggak usah sampai maki-maki Ludi gitu, Ra. Jangan sampai kesalahannya nggak kamu maafin.”
“Ini kesalahan besar, Ma. Cuma Lulugu Biru yang bisa menentramkan Rara bila teringat panti, Bunda Ris, dan…” Rara memutus kalimatnya begitu melihat mata Mama. Mama memang tak pernah mau mendengar Rara mengenang panti itu.
“Ludi terlalu baik untuk kamu musuhi walau dengan kesalahan sebesar apapun, Ra. Ingat siapa yang jadi teman perjalananmu pulang pergi ke sekolah sejak SD sampai sekarang? Siapa yang membelamu kalau teman-teman mengejek kamu anak angkat, Ra? Siapa …”
Rara membiarkan Mama menghitung-hitung kebaikan Ludi. Sementara pikirannya tertuju pada Lulugu Biru yang hilang.
*****
Ludi termangu menatap boneka koyak di tangannya. Ia bingung lantaran Rara nggak pernah cerita bahwa boneka itu amat berarti. Padahal selama ini hampir nggak pernah ada rahasia antara mereka.
Aku harus segera mengembalikan boneka ini biar muka Rara nggak cemberut lagi, batin Ludi. Yang sudah-sudah, Rara sering menghukumnya bila ia marah. Dan itu sangat tak diinginkan Ludi.
Ia mengingat-ingat kepada siapa bisa minta tolong membetulkan Lulugu Biru yang koyak. Rasanya mustahil memperbaikinya tanpa menggantinya dengan yang baru. Untung Ludi ingat saudara sepupunya yang kuliah di fakultas seni rupa. Sore itu juga ia bergegas menuju studio tempat Wibi sering berkumpul.
Ludi senang sewaktu tiba di studio langsung bertemu Wibi. Tanpa basa-basi ia langsung mengajukan permohonan. “Tolong deh, Bang Wibi, boneka ini kalo bisa dibetulkan secepatnya. Abis bingung minta tolong ke siapa lagi nih,” kata Ludi dengan muka memelas. Kalau nggak gitu, ia nggak yakin Wibi mau menolong.
“Aduh, Di, kalo materi kain gini gue nggak bisa. Kecuali boneka ini dibuat dari gips, kayu, atau keramik,” timpal Wibi setelah mengamati boneka yang disodorkan Ludi. Tapi Wibi tak tega membiarkan sepupunya itu tampak cemas. Ia berjalan mendekati temannya yang tekun mendesain mainan anak. “Res, elo bisa membetulkan boneka ini nggak?”
Resnu yang terusik mulanya nggak ingin menghiraukan, namun mendadak merubah raut mukanya saat melihat boneka di tangan Wibi. Tangannya langsung meraih boneka itu.
“Boneka siapa ini?” tanya Resnu cepat. Keningnya berkerut.
“Aku nggak tahu. Sepupuku yang bawa. Barangkali punya adik pacarnya. Kenapa memangnya?” Wibi bingung melihat reaksi Resnu.
Resnu mendekati Ludi. Ia memperhatikan dengan seksama cowok yang duduk dengan pandangan penuh harap kepadanya. “Elo tau nama boneka ini?” tanya Resnu seperti orang yang sedang menguji.
“Ya. Lulugu Biru,” Ludi menyebut nama yang diingatnya.
“Gue sih bisa aja betulin boneka ini asal elo mau janji.”
“Janji apa?” Ludi belum mau memberi kepastian.
“Ngenalin gue ama pemilik boneka ini.” Di benak Resnu langsung terlintas bayangan seorang anak kecil dengan mata bundar dan suara tangis yang menggemaskan. Seperti apakah dia kini? Cantikkah?
Ludi mengerutkan keningnya. Ia yakin Resnu sudah mengenal Rara dari cara Resnu memandang Lulugu Biru. Tapi apa hubungan mereka? Ludi yang mengenal semua teman Rara jadi bingung.
“Gimana?” Resnu menyentak Ludi.
Ludi mengangguk tanpa ragu-ragu. “Kapan kira-kira selesainya?”
“Besok sore gue ke rumah elo. Gue jamin bonekanya udah jadi,” jawab Resnu sambil senyum.
Senyum Ludi jauh lebih mengembang.
`````*****

Resnu nggak pernah bisa ngelupain Tara. Si Mata Bundar yang sering minta perlindungannya. Resnu berdoa setiap malam agar mereka nggak dipisahkan. Tapi memang ada doa yang dikabulkan dan nggak. Ia amat kecewa begitu tahu Tara akan diangkat oleh sepasang suami istri kaya.
“Kamu jangan sedih, masih banyak Tara lain yang bisa kamu jadikan adik,” hibur Bunda Ris setelah kepergian Tara.
“Apakah Resnu bisa mendapatkan alamat Tara, Bunda?” tanya Resnu. Ia ingin sekali bisa menemui Tara suatu saat nanti.
“Itu melanggar aturan, Resnu. Orangtua angkat Tara nggak menghendaki hal itu. Dan mungkin, Tara pun sudah ganti nama. Berdoalah agar suatu hari Tuhan mempertemukan kalian.”
Ah, kalo begitu biarkan Tara yang kelak mendatanginya. Resnu nggak akan pindah ke rumah siapapun karena ia sudah terlalu besar untuk diadopsi. Ia memang nggak tahu kalau Tara kemudian menjelma menjadi Rara, lalu pindah dari kota kecil itu ke Bandung.
Namun pertemuan yang sudah di atur Tuhan memang tak ada yang menduga. Setelah sekian lama menunggu, begitu lulus SMU ia memutuskan kuliah di Bandung dengan biaya sendiri. Resnu mencoba mencari Tara di sela perjalanan hidupnya. Siapa sangka ada Ludi, penghubungnya.
Buru-buru Resnu meninggalkan kamar kostnya begitu melihat matahari sore. Kedatangannya ternyata amat diharapkan Ludi.
Seharian ini Ludi sudah uring-uringan diperlakukan Rara. Dimulai pagi tadi saat Rara berangkat ke sekolah duluan tanpa menunggunya. Dan di kelas ia duduk ke ujung belakang menjauhi Ludi. Pulangnya, Ludi kehilangan jejak Rara. Benar-benar komplit hukuman Rara untuknya.
Maka nggak ada yang menggembirakan Ludi saat ini selain melihat Lulugu Biru dalam keadaan seperti semula.
“Gue udah nepatin janji. Giliran elo yang nepatin janji sekarang,” ungkit Resnu setelah membiarkan Ludi girang sesaat.
Ludi diam. Ia sendiri masih bingung apakah Rara akan menerima dirinya atau nggak. Yang penting memang harus dicoba dulu. Bergegas ia mengajak Resnu ke rumah sebelah. Dari pintu pagar ia melihat Rara sedang bersiaps-siap membersihkan VW-nya.
“Rara!”
“Heh, ngapain elo ke sini? Bawa-bawa orang segala! Udah elo temukan belum Lulugu Biru?” hardik Rara sambil bertolak pinggang. Tangannya menghempas selang yang dipegang.
“Nih, boneka elo,” Ludi menyerahkan Lulugu Biru kepada Rara yang tetap memasang wajah angker. “Due udah dimaafin, kan?”
“Enaknya! Nggak segampang itu!” Rara berteriak. Ia membalikkan badannya dan siap masuk ke rumah.Tapi telinganya menangkap suara Resnu.
“Tara …Tara…” Resnu yang terdiam beberapa saat terpana melihat sosok remaja Rara, akhirnya bersuara didorong kerinduannya.
Rara menoleh. Nama itu memang sudah lama tak didengarnya, tapi kenangan di panti tak pernah dilupakannya. Juga nama itu. Nama masa kecilnya di panti. Ia mengamati cowok yang datang bersama Ludi. Siluet masa lalu mengungkit kenangan pemilik dagu dengan gurat luka yang pernah Rara gores dulu.
“Kak … Resnu?” Rara ragu-ragu sejenak. Tapi begitu hatinya yakin ia langsung menggamit tangan Resnu tanpa sungkan. Rara bahagia banget menemukan sepenggal perjalanan hidupnya yang hilang. “ Masuk yuk, Kak Res. Iiih, gimana ceritanya Kak Resnu bisa tahu Rara di sini?”
“Ludi yang nggak sengaja mempertemukan kita. Loh, kamu nggak ngajak Ludi masuk?” Resnu bingung karena Rara tak mengacuhkan Ludi. Spontanitas Rara bergayut manja di lengannya pun membuat rikuh.
“Ah, dia sih udah biasa nyelonong. Kalo mau masuk, ya masuk aja!”
Ludi mengikuti suara hatinya masuk ke rumah tanpa berpikir lagi. Ia ingin tahu reaksi Rara berikutnya.
“Kak Ludi mau minum apa? Masih suka susu cokelat?” tanya Rara sesaat sebelum berteriak memanggil Bi Uti.
“Kamu masih ingat minuman kesukaanku. Padahal kamu masih terlalu kecil waktu itu,” ujar Resnu kagum.
“Ih, gimana bisa lupa dengan Kak Resnu? Yang suka ngebelain Rara kalo diganggu Idon, suka metikin mangga, suka…”
“Suka bikin kamu nangis sampai menjerit-jerit,” timpal Resnu. “Lantas aku ikut nangis karena dijewer Bunda Ris.”
Keduanya tertawa dan tertawa. Sesekali mereka menyeruput susu cokelat buatan Bik Uti. Obrolan tak juga beranjak dari kenangan masa kecil mereka. Lambat laun Ludi menyadari ia berada pada tempat yang salah.
“Ra, gue pamit duluan. Ada yang mesti gue kerjakan di rumah,” pamit Ludi beringsut pulang.
Tak ada komentar apa-apa dari Rara. Cuma ucapan terima kasih Resnu atas kebaikan Ludi mempertemukannya dengan Rara.
Dari kamarnya di balkon rumah, Ludi melihat Resnu pulang agak larut malam diantar Rara. Ludi yakin dengan kegembiraan di hati Rara kini, cewek itu akan manis kembali kepadanya besok pagi.
`````*****
Apa yang diharapkan Ludi semalam ternyata nggak dikabulkan sepenuhnya. Memang Rara sudah mau diajak berangkat bareng ke sekolah Rara. Tempat duduk Rara pun kembali ke asal, di depan meja Ludi. Cuma Rara masih irit mengeluarkan kalimat dari mulutnya.
Ludi nggak berani mengusikya, takut Rara sewot lagi. Yang penting ia bisa kembali dekat dengan Rara. Maka begitu bel pulang sekolah berbunyi, Ludi langsung mendekati Rara agar nggak kehilangan jejaknya lagi. Entahlah … ia kini sering merasa tersiksa bila berjauhan dengan Rara.
“Jadi nanti sore kita ke pameran buku?” tanya Ludi mengingatkan Rara pada janji empat hari lalu.
“Kayaknya sih nggak, deh,” Rara tak yakin. Langkahnya semakin cepat memburu pintu gerbang. Bahkan Rara harus menubruk beberapa orang.
Ludi terkejut sewaktu melihat Rara menyeberang jalan, menghampiri seorang lelaki dengan motor gedenya. Resnu! Rupanya Rara sudah janjian akan dijemput. Ludi menelan ludahnya. Ia cuma mengangguk ketika Resnu melambaikan tangan ke arahnya. Sekejap kemudian mereka sudah hilang.
Ludi terpaksa pulang sendirian. Pantas tadi pagi Rara nggak mau membawa VW-nya. Malah ngotot ingin naik angkot.
Di rumah Ludi masih berharap Rara ingat janjinya ke pameran buku bersama. Tapi hampir larut malam dari kamarnya Ludi melihat Rara baru pulang diantar Resnu. Ludi baru tahu ke mana mereka pergi ketika bertanya esok paginya.
“Ke Sumedang. Elo tau kan dulu gue diangkat dari kota kecil itu,” tukas Rara ketus.
“Tapi elo kan bisa pulang dulu.”
“Elo jangan sok ngatur. Gue udah minta ijin Mama sebelumnya. Elo pikir gue nggak tahu aturan!” Rara memang bisa meyakinkan Mama bahwa kenangan masa kecilnya nggak perlu ditutupi lagi.
Ludi terdiam. Ia nggak mau bertengkar lagi. Apalagi mereka lagi di angkot. Seperti yang diduga Ludi, pulang sekolah ternyata Rara dijemput Resnu. Itu terulang terus esok, esok, dan esoknya lagi. Nyaris nggak ada waktu Rara tersisa untuk Ludi. Ia jadi menyesal dengan tindakan konyolnya menukar Lulugu Biru.
Padahal sewaktu Rara menginjak usia tujuhbelas Ludi sudah berniat menjalin lebih manis lagi hubungan mereka. Tak ada gadis lain yang memikat hatinya selain Rara.
Apakah Rara dan Resnu saling jatuh cinta? Itu nggak mustahil. Apalagi mengingat kebersamaan mereka yang berlebihan. Bukankah hasrat yang timbul di hati gue juga karena kebersamaan? Kalo memang demikian, gue harus melupakan hasrat di hati gue. Asalkan Rara bisa bahagia karenanya, Ludi membatin.
Cuma sewaktu ia ngobrol dengan Wibi, kegentaran hatinya kembali terusik.
“Resnu pacaran dengan Rara? Ah, gue rasa cuma temporal. Yang udah-udah Resnu nggak pernah serius dengan cewek lebih dari sebulan,” tutur Wibi datar.
Cerita itu membuat Ludi gelisah melebihi sebelumnya. Gimana kalo Resnu benar-benar ninggalin Rara? Gimana kalo hati Rara terluka? Ludi nggak bisa menerima hal itu. Tapi usaha apa yang bisa dilakukan untuk mencegahnya? Rara pasti akan bilang Ludi kekanak-kanakan, bila menceritakan reputasi Resnu yang ia ketahui dari Wibi. Lagi pula agak sulit membuka percakapan dengan Rara pada posisi yang tak menguntungkan kini.
Sore sedang hujan sewaktu Ludi menemukan satu cara yang ia yakini keberhasilannya. Ia harus menemui Resnu.
``*****```
Resnu pernah melakukan kesalahan terhadap Rara di masa kecilnya. Karenanya ia amat berharap bisa berjumpa dengan Rara. Tapi begitu pertemuan digariskan Tuhan, Resnu masih perlu waktu untuk mengakui dosanya.
Kini, di sebuah kafe yang berdiri di jalan Dago Resnu merasa kesempatan itu telah tiba.
“Maafkan aku sebelumnya, Ra. Aku ingin mengakui kesalahan kecilku dulu. Aku … akulah yang mencuri salah satu boneka Lulugu biru milikmu. Waktu itu lagi bingung banget karena merasa sedih bakal kehilangan kamu. Karena aku nggak tahu kenangan apa yang akan kuperoleh, maka kucuri diam-diam bonekamu,” tutur Resnu hati-hati.
Rara terpana. Matanya menembus kaca jendela kafe. Di luar hujan turun. Ia ingat hujan pun turun sewaktu ia menangis saat salah satu Lulugu Biru. Rara tak pernah menyangka bahwa bonekanya itu telah dicuri oleh orang yang telah dianggapnya sebagai kakak. Ludi yang konyol itu juga mengambil Lulugu Biru, tapi Ludi tak pernah tahu makna boneka itu bagi Rara. Sementara Resnu tahu betapa berartinya boneka itu buat Rara.
“Kamu nggak mau maafin aku, Ra?”
Selalu perlu waktu bagi Rara untuk memberi maaf kepada orang lain. Sekalipun itu kepada orang yang amat dekat dengannya. Rara merasa hidungnya tersumbat tiba-tiba. Ia langsung pergi ke toilet. Namun ketika kembali ke tempat duduknya, ia tak menemukan Resnu. Ada secarik kertas di dekat cangkir kopi susu Resnu.
Ra, aku harus ke Jakarta. Kuharap waktu seminggu cukup untuk berpikir dan mau memberiku maaf. ---Resnu---
Resnu mengendarai kencang motornya tanpa memedulikan hujan. Ia harus segera konsentrasi pada rencana pamerannya di Jakarta. Resnu berusaha melupakan sementara beban yang mengganjal di hatinya.
Sampai di tempat kostnya, Resnu terkejut mendapatkan Ludi menunggu di depan kamar kostnya. Ia segera mengajak Ludi ke dalam kamar. Resnu mencoba menebak maksud kedatangan Ludi sambil mengganti pakaiannya yang basah.
“Bang Wibi bilang Kak Resnu akan ke Jakarta besok. Makanya gue langsung ke sini,” kata Ludi langsung.
“Pasti penting. Soal apa, Di?” tanya Resnu langsung. Pengalamannya mengajarkan ia tak perlu menutup-nutupi satu hal.
“Soal Rara. Tepatnya soal hubungan Rara dengan Kak Resnu.”
Resnu tersenyum. Cowok didepannya tampak cukup kuat mental untuk mengutarakan kegelisahannya. “Kami memang akrab. Tapi jangan elo salah tafsirkan hubungan kami. Sejak dulu, kini, dan sampai kapan pun gue nggak akan merubah pendirian gue. Gue hanya mengangap Rara sebagai adik. Nggak pernah lebih,” ucap Resnu kemudian.
Ludi menghela nafasnya. Ia jadi malu dengan prasangkanya.
“Dan elo, Di? Elo mencintai Rara, kan? Sudah gue baca dari mata elo sejak pertemuan pertama kita. Sayang elo terlampau rapuh. Elo kurang mempertegas sikap dan posisi elo sebagai cowok ... ”
“Kak Resnu tahu itu?” Ludi melupakan tingkat kedewasaan dan pengalaman Resnu.
“Dari cerita-cerita Rara tentang elo. Hanya elo yang sering ia ceritakan selama kami berduaan. Sayangnya elo nggak nyadar. Rara bukan cuma menginginkan seorang pengawal, tapi juga orang yang bisa ngebimbingnya tanpa gentar dengan kemanjaannya itu. Hal itu yang diharapkan Rara dari elo. Percaya deh … hanya elo yang ia cintai,” Resnu berusaha membesarkan hati Ludi.
Ludi berusaha mencerna kalimat Resnu.
Sesungguhnya, Resnu tak sejauh itu tahu perasaan Rara terhadap Ludi. Tapi apa salahnya ia membantu Ludi. Paling nggak menyambung kembali ikatan mereka yang sempat goyah lantaran kehadirannya. Resnu sadar Rara memperalatnya untuk menghukum Ludi, tapi Rara kurang pandai menyembunyikan perasaannnya sehingga kerap bicara mengenai Ludi di depan Resnu.
Ludi tak bisa membuka mulut. Jadi betapa bodohnya ia selama ini. Larut dalam ikatan persahabatan sejak kecil sehingga tak menyadari adanya tuntutan yang berbeda dalam ikatan tali kasih.
“Ludi, gue minta tolong serahkan boneka ini pada Rara. Gue nggak sempat lagi menemuinya besok.” Tahu-tahu Resnu menyerahkan sebuah boneka yang diambilnya dari laci.
“Loh Lulugu Biru ini kan udah dikasih ke Rara seminggu lalu?” Ludi bingung.
“Biar Rara yang nanti jelasin. Heh … elo udah pernah denger dongeng Lulugu Biru dari Rara?”
Ludi menggeleng.
“Dongeng komplitnya aku kurang ingat. Secara garis besar, itu kisah tentang seorang puteri raja yang diberi hadiah oleh sang peri biru. Hadiah itu sepasang boneka bernama Lulugu Biru. Suatu hari salah satu bonekanya hilang. Raja mengadakan sayembara, bagi siapa yang menemukan boneka itu akan menjadi pangeran. Ternyata boneka itu hilang di istal istana. Penjaga kuda yang memang sahabat sang puteri beruntung menemukan boneka itu. Ia akhirnya menjadi pangeran …”
Kisah yang indah, Ludi membatin. Ia jadi ingin segera menyerahkan Lulugu Biru di tangannya kepada Rara. Dan menjadi pangeran di sisi Rara!
*****